Jun 30, 2009

Pengetahuan Diri




Dengan mengenali nafs kita sendiri, kita akan menemukan hubungan yang dalam dengan Tuhan kita. Dengan menelusuri tali penghubung ini, kita dapat menjangkau Tuhan.


ALLAH berfirman, “Mereka yang mensucikan nafs-nya akan menemukan keselamatan.” “nafs” bukanlah benda. Istilah dari bahasa Arab ini berkaitan dengan kata “nafas”, “jiwa”, “esensi”, “diri”, dan “sifat dasar”. Istilah ini merujuk kepada apa yang dihasilkan dari interaksi antara jasad dan ruh. Jasad terbuat dari “tanah”, sebuah kombinasi dari unsur-unsur material. Seperti juga ruh, nafs berasal dari Allah. Nafs mempunyai tujuh aspek atau tingkatan, yaitu nafs yang bersifat mineral, nafs yang bersifat tetumbuhan, nafs bersifat binatang, nafs bersifat manusia, nafs bersifat malaikat, nafs bersifat rahasia dan nafs bersifat yang rahasia dari segala rahasia.


Elemen-elemen tertentu dari nafs ini dapat ditingkatkan. Dan obat untuk ini terkandung dalam kitab-kitab suci serta ajaran-ajaran para nabi dan wali.


Mengapa nafs bisa memiliki kualitas-kualitas yang negatif atau yang tidak diharapkan? Apa lagi, ia tidak berasal dari bumi ini, melainkan dari level Singgasana (‘Arsy) Allah.

Nafs menjadi sosok yang “ada dalam pengasingan” saat ia memasuki jasad. Ia terpenjara di dalam raga. Raga kita mempunyai berbagai macam organ dan instrumen tubuh untuk bertindak, misalnya saja organ seksual kita. Sang raga sendiri tidak mempunyai daya nafsaniyyah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya. Nafs-lah yang mememiliki daya itu, namun sebaliknya, ia tidak memiliki organ atau instrumen untuk melakukan tindakan apa pun.



Ketika nafs menggunakan instrumen-instrumen raga ini dengan pemakaian yang buruk, maka barulah kita dapat berbicara tentang nafs yang tercemari oleh kualitas-kualitas buruk. Tidak ada sesuatu pun yang Allah ciptakan yang bersifat buruk. Kesalahan kita dalam menggunakanlah yang menjadikannya buruk. Contohnya, hasrat seksual adalah suatu hal yang wajar dan dibutuhkan untuk melestarikan keturunan. Ia juga menjadi cara untuk mengekspresikan cinta antara suami dan istri. Namun, ketika keinginan yang natural ini dibiarkan menjadi tidak terkendali, ia akan membawa kita kepada berbagai macam tindakan yang merusak.


Jadi, siapakah yang kelak harus bertanggung jawab untuk kelakuan buruk kita, apakah raga, atau nafs? Dikatakan bahwa pada Hari Perhitungan nanti, sang raga akan menyalahkan nafs dengan mengatakan, “Aku tidak mempunyai daya untuk bertindak.” lalu sang nafs pun akan menyalahkan raga dengan mengatakan “Aku tidak mempunyai alat untuk bertindak.” Pertengkaran mereka ini pun akan dijawab dengan sebuah parabel tentang seorang buta yang kuat, yang menggendong seorang lumpuh di punggungnya. Orang lumpuh ini memiliki baik penglihatan maupun kemampuan menilai baik atau buruk, dan ialah yang mengarahkan gerakan penggendong butanya itu. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab? Dua-duanya bersalah.


Nafs itu sendiri tidaklah jahat. Jangan pernah menyalahkan nafs-mu. Bagian dari upaya tashawwuf adalah untuk mengubah tingkatan nafs-mu. Jenjang terendah adalah ketika berada dalam kondisi sepenuhnya terdominasi oleh keinginan dan hasrat-hasratmu. Jenjang berikutnya adalah melawan dirimu sendiri, dengan berupaya bertindak berdasarkan nalar dan nilai-nilai yang tinggi, dan mencari kesalahan dirimu sendiri ketika gagal. Dan jenjang yang lebih tinggi lagi adalah dengan berpuas hati atas setiap pemberian Allah kepadamu, apakah itu terasa nyaman atau tidak, memenuhi keinginan-keinginan fisik maupun tidak.


Seluruh jenjang nafs merupakan bagian dari dunia makhluk ciptaan ini. Mereka terpenjara dalam raga, terbuang atau terasing dari tempat asalnya.


Nafs dalam tingkat tertingginya, yang suci, bukanlah bagian dari ciptaan. Ia merupakan sebuah aspek dari atribut ilahiah, al-Hayy, yaitu Yang Maha Hidup, Yang Senantiasa Hidup. Engkau tidak bisa “menempatkannya”, entah itu di dalam atau di luar tubuh. Sementara nafs dalam tingkat-tingkatnya yang lain, seperti disebutkan di atas tadi, terletak di dalam jasad. Nafs yang murni merupakan bagian dari Yang Maha Tak-Terbatas. Oleh karena itu, ia tidak dapat ditaruh di dalam makhluk ciptaan lain yang manapun. Ia merupakan manifestasi langsung dari Yang Mahahidup.


Nafs memiliki sifat-sifat dasar maupun kualitas dari sebuah “ruh yang terjasadkan”. Allah berfirman, ”.. dan telah Kuhembuskan ke dalamnya (jasad Adam) (sesuatu yang berasal) dari ruh-Ku…”. (Q. S. Al Hijr [15]: 29; Shaad [38]: 72. –Ed.) Ini adalah aspek dari ruh yang dikurung dalam jasad, hingga kita mendengar kata-kata Sang Maut, “Kembalilah kepada Tuhanmu.” Sewaktu hal itu terjadi, nafs yang berada dalam jenjang-jenjang terendah ingin tetap berada di dalam jasad. Mereka tidak mau meninggalkannya ketika kematian datang. Mereka memberontak karena telah memiliki keterikatan kepada raga (dan sifat-sifat ragawi. –Ed.).


Lalu bagaimana dengan nafs dari para nabi dan wali? Tentu saja nafs mereka berbeda dengan kebanyakan kita. Nafs-nafs mereka lebih murni. Elemen-elemen keragaan mereka pun diambil dari tempat-tempat paling mulia, titik-titik tersuci di bumi. Raga mereka suci, sehingga saat nafs memasuki raga yang seperti itu ia sama sekali tidak terkotori.


Ada sebuah kata-kata terkenal, “Dia yang mengenal dirinya —sebenarnya tertulis “nafs”-nya—, akan mengenal Tuhannya” (“Man ‘Arafa nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu”) siapa yang mengenal nafs-nya akan mengenal Rabb-nya. (Al-Hadits). –Ed). Ada dua pengertian dari ungkapan ini. Yang pertama bahwa kita menjadi mampu mengenali segala kebutuhan, hasrat dan kelemahan kita, lalu juga menjadi mampu menyadari adanya suatu kuasa yang agung. Lalu kita mengerti bahwa kita butuh seorang pelindung: seorang yang menyediakan kita makanan, pakaian, dan melindungi kita di dunia ini. Yang kedua adalah penjelasan esoterisnya. Allah berfirman, “Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu sendiri.” (Q. S. Qaaf [50]: 16—Ed.). Dengan mengenali nafs kita sendiri, kita akan menemukan hubungan yang dalam dengan Tuhan kita. Dengan menelusuri tali penghubung ini, kita dapat menjangkau Tuhan.


Perjalanan kembali menuju Allah (taubat) ini hanya dapat diikuti oleh mereka yang hidup sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya. Mereka yang tidak taat, atau malah mengikuti syaithan, akan dipisahkan.


Ada sesuatu yang menghubungkan kita dengan Allah. Walaupun Allah ada di atas semua permisalan, tapi seperti adanya jutaan bola lampu namun hanya satu yang disebut energi listrik. Setiap bola lampu berbeda-beda satu sama lain. Beberapa berkapasitas sepuluh watt, dan yang lainnya seratus watt. Kekuatan yang ada di balik mereka semua, sama. Atau, pikirkanlah seikat anggur. Mereka akan cepat menjadi busuk bila dipetik, tapi akan terus hidup bila dibiarkan di rantingnya. Ada sesuatu yang terus mengalir ke setiap butir anggur melalui rantingnya.


Segala sesuatu sebenarnya sama, dalam esensinya semuanya serba indah. Hanya atribut permukaan sajalah yang bisa membuat sesuatu menjadi buruk.


Jangan terikat kepada dunia. Saat keterpisahan dengan apa pun yang ada di dunia ini akan datang bersama maut. Sebelum engkau mati, engkau akan mendengar perintah, “Kembalilah kepada Tuhanmu.” Semua ikatan dengan dunia akan pergi dan engkau akan menemukan kebersamaan dengan Allah.


: : : : : : : :


Raja Sulaiman a.s. adalah seorang penguasa yang paling kaya dan berkuasa, dan juga merupakan salah seorang Nabi terbesar di zamannya. Walaupun beliau memiliki kekuasaan yang sangat besar dan kekayaan yang tiada bandingannya, segala kepemilikan itu sama sekali tidak menjadi perhatiannya. Ia memandangnya tidak lebih dari beban dan sumber masalah.


Setiap hari beliau mengunjungi burung kakaktua miliknya. Suatu hari, burung itu terlihat sangat sedih. Burung itu sedang rindu kampung halamannya.


Omong-omong tentang kakaktua, seekor kakaktua yang mempunyai hafalan kosakata yang luar biasa banyaknya suatu hari laku dilelang di Istanbul seharga dua ribu keping mata uang. Nasruddin Hoja rah. (Nashruddin Hoça, 1208 – 1284 M, yang sering memberi pengajaran melalui lelucon) melihat hal ini dan terhenyak. Keesokan harinya dia pun membawa kalkunnya yang besar dan buruk rupa ke pasar. Penawaran tertinggi untuk kalkunnya itu hanyalah senilai enam keping saja. Ia berteriak meminta mereka menawar kalkunnya lebih tinggi, karena kalkun miliknya jauh lebih besar daripada burung yang kemarin laku terjual seharga dua ribu keping. Seseorang membalas berteriak, “Kemarin itu burung yang bagus sekali, dan bisa bicara seperti manusia!” Nasruddin menjawab, “Yang ini juga burung yang bagus sekali, dan bisa berpikir seperti manusia!”


Kita kembali ke cerita kakaktua Nabi Sulaiman a.s.. Untuk mengobati rasa rindu si kakaktua, Raja Sulaiman mengabulkan permintaannya untuk pulang ke negerinya. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu satu bulan untuk berangkat dan satu bulan lagi untuk kembali, karenanya Raja Sulaiman memberinya waktu tiga bulan untuk “cuti”. Beliau mengingatkan kakaktua itu untuk kembali “berdinas” tepat waktu, atau ia akan mengutus angin atau jin untuk menyusulnya.


Si kakaktua pun pulang ke negerinya, dan di sana dia melewatkan waktu yang membahagiakan, berkumpul kembali bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya. Waktu berlalu begitu cepat. Kau tahu, waktu satu malam itu hanya terasa sesaat bagi sepasang kekasih; tetapi untuk orang yang sedang sakit gigi, satu malam itu bisa terasa tak ada akhirnya.


Pada saat kakaktua akan berangkat, keluarganya membekalinya satu botol kecil berisi air keabadian, sebuah hadiah yang layak dan sesuai untuk seseorang seperti Raja Sulaiman a.s.. Kakaktua mengikatkan botol itu ke sayap kanannya dan ia pun berangkat. Ia pun kemudian menyerahkan hadiah dari keluarganya itu kepada Sulaiman a.s..


Sang Nabi meminta pertimbangan dari para penasihatnya. Ia ingin tahu apakah dia sebaiknya meminum air kehidupan abadi itu atau tidak. Seluruh dewan yang hadir di majelisnya—manusia, hewan dan jin—berkata, “Ya. Kami ingin agar engkau menjadi penguasa kami untuk selamanya.” Seluruhnya, kecuali seekor burung hantu yang berkata, “Sebelum engkau meneguknya, datanglah ke sebuah gua yang akan kutunjukkan padamu dan lihatlah siapa yang ada di sana.”


Raja Sulaiman a.s. pergi ke gua itu, dan di sana menemukan seorang lelaki tua yang tengah meratap agar segera didatangkan maut kepadanya. Burung hantu mengatakan kepada Sang Nabi bahwa lelaki itu pernah mencicipi air keabadian sehingga ia tidak bisa mati.


Siaplah untuk pergi ketika saatnya telah datang. Tidak ada seorang pun yang mau menanggung penderitaan sakit dan kelumpuhan yang tidak pernah berkesudahan. Dan tidak ada derita yang lebih memilukan daripada menyaksikan anak-anak keturunanmu mati dan meninggalkanmu sendirian.


Ketika Nabi Sulaiman a.s. berdiri tertegun memikirkan yang harus diperbuatnya dengan botol itu, malaikat Jibril a.s. datang dan membanting botol itu ke tanah hingga pecah.***


Dikutip dari buku Cinta Bagai Anggur.

Cover CBA

: : : : : : : :
Judul: “Cinta Bagai Anggur: Tuangan Hikmah Dari Seorang Guru Sufi di Amerika.”
Karya: Syaikh Muzaffer Ozak, dikompilasikan oleh Syaikh Ragip Frager
Alih bahasa: Nadia Dwi Insani, Herry Mardian, Herman Soetomo
Penerbit: Pustaka Prabajati
17 x 23 cm, 202 hal.
ISBN: 978-979-15115-0-6
Harga: Rp. 48.000,- (RM17)

Bisa dipesan di sini.


Jun 28, 2009

Mulakan Langkah : Tahu dan Mahu





Tegas Ibn Hazm al-Andalusi*:

"Jika kita tidak mengetahui
keadaan kita yang sedang sakit
dan sifat penyakit kita,
maka kita tak dapat
berbuat apa-apa terhadapnya.

Jika kita tidak diberi tahu
mengenai cara penyembuhan,
maka kita tidak bisa sembuh.

Sesungguhnya, jika kita tidak berhasrat
mengubah keadaan diri kita sendiri,
maka tak ada yang dapat dilakukan.

Inilah tepatnya yang difirmankan Allah,

'Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah
(keadaan) suatu kaum
kecuali jika kaum itu
mengubah (keadaan)
diri mereka sendiri.'
[Q.S. ar-Ra'd (13) : 11]."


Dan hanyalah dengan terbebaskan dari
penyakit batini itulah
kita bisa memaknai dan menikmati hidup,
sehingga setiap perilaku kita
memancarkan kearifan dan kebahagiaan.


*Kitab al-Akhlaq wa al-Siyar fi Mudawat al-Nufus

Jun 23, 2009

Syariat & Tasawwuf





Dikutip dari buku Cinta Bagai Anggur bab ‘Godaan’.


“Tetapi jangan pula membodohi dirimu sendiri dengan mengira

bahwa kau bisa membersihkan aspek batinmu

tanpa membersihkan aspek lahirmu.”


Perhatikan, iblis tak akan pernah henti berusaha. Ketika semua tipuan telah gagal, sering kali dia mendapatkan kita melalui harga diri kita. Iblis adalah musuh abadi manusia, dan dia akan mengupayakan cara apa pun untuk menyesatkan kita. Ia terkadang menyesatkan manusia dengan berpura-pura menjadi seorang pemandu spiritual, atau bahkan berpura-pura menjadi Tuhan Yang Mahatinggi. Keselamatan hanya bisa kita peroleh jika kita mempelajari serta mengamalkan hukum-hukum syariat, sekaligus juga ajaran-ajaran dalam tashawwuf sebagai syariat batin.


Jika seseorang hanya memiliki pengetahuan syariat, mengetahui hukum-hukum fiqh itu ibarat pagar yang mengelilingi sebuah taman. Namun taman mungkin tidak cuma berisi bunga-bungaan atau pohon-pohon buah. Di dalamnya sangat mungkin terdapat banyak rumput liar dan tanaman berduri. Pagar akan menjaga agar hewan-hewan perosak tidak masuk. Hanya saja, jika ternyata ada hewan yang berhasil masuk, bisa jadi pagar itu pula yang justru membuatnya tertahan di dalam.


Pengetahuan tashawwuf dapat menjadi benteng kita terhadap keburukan; tetapi pengetahuan ini saja tidak akan sepenuhnya mampu melindungi qalb-mu dari keserakahan, amarah, dan kesalahan. Ajakan-ajakan salah yang bisa memengaruhimu tidak akan mampu menembus benteng pengetahuan ini dengan mudah, tetapi sekali mereka berhasil masuk, bisa jadi mereka tertahan di dalam.


Di sisi lain, mengamalkan ajaran tashawwuf maupun melakukan amalan-amalan olah-nafs tanpa disertai pengetahuan, itu seperti sebuah kebun raya yang terbuka, tanpa pagar sama sekali. Di dalamnya akan tumbuh buah-buahan dan bunga-bunga, tapi sama sekali tidak ada yang mencegah hewan liar untuk mengganyang buah-buahnya atau menginjak-injak bunganya. Tanpa dilindungi oleh benteng pengetahuan, pengabdian diri maupun ilham-ilham yang turun akan hilang dengan sangat mudah, bahkan dapat berubah menjadi kemunafikan, bangga diri maupun kesombongan.


Syariat dan tashawwuf itu seperti sepasang sayap. Jika sayapnya hanya satu, pemiliknya tidak sampai ke mana pun. Kau butuh (Bahasa Melayu: memerlukan) dua sayap. Kau harus membersihkan diri lahiriahmu dari hal-hal yang tidak suci, demikian pula diri batinmu harus bersih dari ketidaksucian, seperti bangga diri, kemunafikan, ketidakjujuran, amarah, keserakahan serta cinta kepada status dan kedudukan.


Tasawwuf tanpa syariat, ibarat lilin tanpa lentera yang menyala di tempat terbuka. Sekadar tiupan angin dapat memadamkan apinya. Tetapi jika engkau punya lentera dengan kaca yang melindungi nyalanya, maka apinya akan terus menyala dengan aman.

Sangat penting untuk kau perhatikan bahwa syariat dan tashawwuf adalah dua hal yang sama baiknya. Hanya karena engkau berpikir bahwa engkau tidak akan mampu melakukan keduanya sekaligus, sungguh tidak bijaksana jika engkau langsung meninggalkan salah satunya. Dan jika Allah menghendaki, mereka yang hendak membersihkan bagian (bahagian) dalam rumahnya, pada suatu saat dinding luar rumahnya pun akan terbawa bersih pula.


Tuhan Yang Maha Tinggi tidak melihat hamba-Nya dari penampilan luarnya, dari kecantikan lahiriahnya. Dia melihat ke dalam hati seseorang, kepada kesucian dan keindahan yang ada di dalam qalb hamba-Nya.


Harus kau pahami bahwa - di jenjang yang lebih tinggi - membersihkan aspek batiniah adalah jauh lebih sulit daripada membersihkan aspek lahiriah. Tetapi jangan pula membodohi dirimu sendiri dengan mengira bahwa kau bisa membersihkan aspek batinmu tanpa membersihkan aspek lahirmu. Misalnya, jika kau berpendapat bahwa uang (wang) - lambang dunia ini - adalah sesuatu yang tidak suci, kau bisa kapan saja mencuci tanganmu setelah menyentuhnya.Tetapi jika hatimu terikat oleh hasrat akan uang, yang ini sungguh sangat sulit membersihkannya.


Pada jenjang itu, membersihkan bagian dalam diri terlebih dahulu adalah jauh, jauh lebih sulit daripada dengan memulai dari bagian luar. Tetapi sekali engkau mampu membersihkannya, maka seluruh aspek luar dirimu pun akan ikut bersinar seperti kristal. Itu kalau kau berhasil.


Kau hanya membutuhkan beberapa dolar saja untuk pergi ke pemangkas rambut, mandi, lalu pergi ke toko membeli baju yang bagus. Secara lahiriah, engkau bisa dengan sangat mudah membuat dirimu jadi menarik. Tetapi bayangkan seperti apa kesulitan dan sumber daya yang harus kau kerahkan demi bersihnya diri batinmu!


Idealnya, tentu untuk menjadikan aspek luar dan dalammu seiring dalam harmoni. Aspek luarmu menjadi gambaran aspek dalammu. Yang sungguh-sungguh sangat penting, aspek lahir(1) dan aspek batinmu(2) harus menyatu dan selaras.


(1) Jasad dan segala yang terkait dengan aspek kejasadiahan. –Ed.

(2) Jiwa (nafs) dan segala yang terkait dengan aspek nafsiyyah. –Ed.




Jun 22, 2009

Lilin & Lentera





"Tasawwuf tanpa syariat,
ibarat lilin tanpa lentera yang menyala di tempat terbuka.

Sekadar tiupan angin dapat memadamkan apinya.
Tetapi jika engkau punya lentera dengan kaca yang melindungi nyalanya,
maka apinya akan terus menyala dengan aman."


Sheykh Muzaffer Ozak al-Jerrahi
Cinta Bagai Anggur



Jun 20, 2009

Penunggang Sang Kuda, Ruh Sang Jasad





"Jasad ini ibarat kuda tunggangan
dan ruh itu ibarat penunggangnya.
Jasad itu dijadikan untuk ruh,
dan ruh itu untuk jasad.

Jika seseorang itu tidak tahu
bahagian dirinya yang mana
yang paling dekat dengan Dia,
maka apakah gunanya ia mengenal yang lain?"


Imam al-Ghazali
Kimiyyah as-Sa'adah






Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa Rabbahu.
Dia yang mengenali nafs-nya, mengenali Rabb-nya.


Debu : Ampunilah Saya



Ya Allah! Ampunilah,
Dosa-dosaku,
Yang Kau mengetahuinya,
Lebih baik dariku.

Ya Rabbi! Kalau kuberbuat,
Dosa dan daga-dagi,
Biarlah ampunanMu,
Menutupinya lagi.

Ya Rabbi! Ampunilah,
Dosa yang dibuat,
Oleh mataku,
Ampunilah hambaMu!

Ampunilah kata-kataku,
Yang keji dan buruk,
Dan ampunilah ketidakmampuanku,
Menahan nafsuku.

CintaanMu kepada,
Mereka yang Kau suka,
Memang adalah lebih daripada,
Cinta yang dalam dunia.

Kau Sendiri bantuan mereka,
Yang tawakal padaMu,
Dengarlah kepadaku,
Wahai Tuhanku!

Berikanlah petunjuk padaku,
Agar kumeminta,
DariMu apa yang menguntungkan,
HambaMu selalu.

Ya Allah, adiliku,
Di dalam urusanku,
Berdasarkan keampunanMu,
Tak keadilanMu.



Jun 18, 2009

Putih Hitam Kelabu Nurani




Qalbu cuma wahana,
nafs-lah yang mewarna.

Putih hitam kelabu nurani
tercalit tanda pada rupawi.

Qalbu cermin cahaya Ilahi
Singgahsana-Nya tak tercerap indrawi.




Ibnu Abas

180609

10.32pm


Jun 15, 2009

Debu : Amanat






Debu - Amanat

Ada banjir, ada hujan
begitu pula kemarau
Gempa bumi, dan longsoran
di sini juga di rantau


Dihancurkan hutan-hutan
tanpa hirau akibatnya
Apalagi lautan-lautan
mati karang dan ikannya


Bencana di mana-mana
Laut gelora, amuk tofan;
Mengisyaratkan yang nyata

Bencana di mana-mana
Laut gelora, amuk tofan;
Mengisyaratkan yang nyata
sikap manusia tak sopan


Lihatlah kebinasaan
amanat dikhianati
Inilah keseluruhan
kerugian yang sejati


Dunia adalah amanat
dari Allah kepada kita
Manusia yang berkhianat
dan akhirnya dukacita


Bencana di mana-mana
Laut gelora, amuk tofan;
Mengisyaratkan yang nyata

Bencana di mana-mana
Laut gelora, amuk tofan;
Mengisyaratkan yang nyata
sikap manusia tak sopan


Masalah lingkungan hidup
adalah masalah akhlak
Renungkanlah kalau sanggup
itulah aturan mutlak


Yang wajib adalah tuk
bakti seluruh muka bumi
Iaitu bermasyarakat

Yang wajib adalah tuk
bakti seluruh muka bumi
Iaitu bermasyarakat
insan perlu memafhumi!


Bencana di mana-mana
Laut gelora, amuk tofan;
Mengisyaratkan yang nyata

Bencana di mana-mana
Laut gelora, amuk tofan;
Mengisyaratkan yang nyata

Bencana di mana-mana
Laut gelora, amuk tofan;
Mengisyaratkan yang nyata
sikap manusia tak sopan.


berkaitan:


Jun 12, 2009

Kebaikan & Keburukan Yang Sebenar




"Kebaikan itu adalah dalam menghadap kepada-Nya, dan
keburukan itu adalah kerana berpaling dari-Nya.

Setiap amal yang kau harapkan upahnya adalah untukmu,
dan setiap amal yang dilakukan kerana Dia adalah untuk-Nya.


Jika engkau beramal dan meminta ganti,
maka balasannya adalah makhluk.

Jika engkau beramal untuk mencari redha Allah Swt.,
balasannya adalah kedekatanmu dengan-Nya
dan memandang kepada-Nya,
kemudian engkau tidak meminta ganti
atas semua amalmu.


Apalah ertinya dunia, akhirat,
dan segala sesuatu selain Dia,
jika dibandingkan dengan Dia?"


Syeikh Abdul Qadir al-Jailani


Jun 05, 2009

Sempurnakan Ikhlasmu






Diri, pandanglah penundaan kurnia~Nya

sebagai peluang

untuk menyempurnakan keikhlasanmu kepada~Nya



Jun 01, 2009

Cinta al-Khaliq