November 16, 2008

Tuhanku, iradat itu hak-Mu..





Tuhanku, iradat itu hak-Mu,
doa itu kepunyaanku,
aku meminta aku meminta
tak Kau kurniakan tak mengapa
jika tak Kau beri semakin kenal aku diri-Mu
jika Kau beri kesejahteraanku pulangkan pada-Mu


Sejauh ini sudah ku kenal kebesaran-Mu
Sedekat ini sudah ku rasai kewujudan-Mu


Tuhanku pun,
jika Kau tak beri
seperti biri-biri mencari Ibu
aku tersesat langkah di lereng-lereng
gunung Anadolu
seperti salji keras batu dan membeku
tak punya batini
andai Kau beri
aku jadi salji mencair
menyegar basah permukaan bumi
ranting-ranting anggur tumbuh lagi
burung-burung berkicau di awal musim semi
daun-daun menghijau kembali
matahari datang lagi
amat ku kasih amat ku cinta
maka aku meminta


Iradat adalah hak-Mu
tak aku ingkari

meminta adalah hakku

kerana dengan merayu

Kau jadi Kekasihku

aku jadi perindu

aku meminta aku meminta

tak Kau kurniakan tak mengapa

jika tak Kau beri

semakin kenal aku diri-Mu

jika Kau beri kesejahteraanku

pulangkan kepada-Mu.


Faisal Tehrani


Mencinta, adalah mencapai Tuhan.





Mencinta adalah mencapai Tuhan.

Takkan pernah lagi dada seorang Pencinta

merasakan kesedihan.

Takkan pernah lagi jubah seorang Pencinta

tersentuh kematian.

Takkan pernah lagi jasad seorang Pencinta

ditemukan terkubur di dasar bumi.

Mencinta adalah mencapai Tuhan.


To Love is to reach God.
Never will a Lover's chest
feel any sorrow.
Never will a Lover's robe
be touched by mortals.
Never will a Lover's body
be found buried in the earth.
To Love is to reach God.



Maulana Jalaluddin Rumi

Kita (Ternyata) Satu





© 2004 - Herry Mardian

Kalian hawa nafsuku yang bodoh
bukan waktunya lagi meratap
Berhenti berandai-andai,
dan hiduplah!

Kita satu, kau dan aku
Bantu aku meraih surgaku,
maka kalian ‘kan meraih surgamu

Kau dan aku, kita satu!
Dahulu berdampingan bersumpah
berikan hidup untuk Sang Raja
Kau pikir kan Dia biarkan
kita berjalan tak tentu arah?

Tunduk, atau kita semua lenyap
mati di bumi, mati di langit
dilupakan Tuhan
terserak di bawah kaki kesia-siaan

(HM, 03/11/2004, 21:45)


Creative Commons License
All works above are licensed under
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 License

November 08, 2008

Keghaiban Hari Esok




Oleh Zamzam A. J. Tanuwijaya, Yayasan Paramartha (diedit dan diperbaiki seperlunya oleh Herry Mardian).


Orang yang beruntung adalah orang yang bisa menjadikan keghaiban hari esok sebagai hidangan bagi hatinya.


KETIKA Nabi Musa as diperintahkan Allah swt untuk membawa bani Israil ke tepi laut apakah ia sudah mengetahui bahwa Allah swt akan membukakan laut bagi mereka ? Tidak sama sekali. Ia hanya meyakini bahwa di tempat itu Allah swt akan menurunkan pertolongannya, tanpa diketahui apa bentuknya.


Musa a.s. dan umatnya, dalam tekanan kebingungan yang hebat, terjebak diantara laut dan kepulan debu gurun yang dihamburkan ke angkasa oleh ribuan kereta perang Fir’aun Merneptah. Cacian-cacian kepada sang Nabi mulai berhamburan dari lisan-lisan umatnya sendiri, karena Musa, nabi mereka, malah mengarahkan mereka terkepung dan terdesak ke laut Merah.


Sementara pada saat itu, seorang pemuda yang tulus, panglima dan murid Musa a.s., berseru ke imamnya dari atas kuda yang terus diarahkannya ke laut, sesuai perintah imamnya. “Ya Nabiyullah, masih terus?” Pertanyaannya menunjukkan kesiapannya.


Air laut sudah seleher kudanya, dan dia, Yusha’ bin Nun, masih terus berusaha memacu kudanya yang sangat ketakutan itu untuk tetap maju menuju ke laut. Ia tidak mempertanyakan, apalagi membantah, perintah Allah untuk menembus laut Merah. Meski ia tahu bahwa Musa, imamnya dan Nabinya, juga belum mengetahui apa yang akan terjadi kepada mereka setelah itu.


Apakah seorang pangeran muda yang bernama Musa, bertahun-tahun sebelum peristiwa di atas, mengetahui bahwa pukulannya—yang hanya sekali—kepada seorang koptik akan membunuhnya? Satu kejadian “sial” yang membuat Musa menjadi tercela dan kehilangan singgasanannya. Ia ketakutan dan melarikan diri ke Madyan, tempatnya Nabi Syu’aib as. Suatu peristiwa yang merevolusi hidupnya, dari seorang pangeran Mesir menjadi cuma seorang pengemis lain di dunia ini. Namun tanpa peristiwa “sial” itu, ia tidak akan bertemu Syu’aib a.s. yang menjadi gurunya.


Kita semua adalah orang-orang yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi, bahkan untuk semenit ke depan. Tidak kita, tidak para orang suci, tidak juga para Rasul yang lain. Kita dilarang bahkan untuk sekedar ingin mengetahui zaman di depan. Keinginan seperti itu hanya akan menjadikan kita masuk ke dalam golongan mayoritas, golongan orang-orang yang tidak bersyukur *.


Masa depan adalah kotak Pandora, dan keghaiban hari esok adalah bagian dari palu Allah yang dipergunakan-Nya untuk menempa dan membentuk jiwa kita. Kita semua adalah hamba-Nya, sebagaimana Rasulullah saw bangga ketika mengatakan “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, dan rasul-Nya”.


Mari kita sambut dengan suka cita dan kita nikmati palu keghaiban-Nya, karena kita tidak tahu palu yang mana yang akan digunakan-Nya membentuk jiwa kita esok hari. Tenanglah, karena kita berada dalam genggaman Sang Maha Sutradara yang Sangat Terpercaya. Tidak ada yang perlu kita khawatirkan, semua sudah diukur-Nya dengan rapi. Kita hanya melompat dari keadaan “nyaris” yang satu ke “nyaris” yang lain. Semakin tebal tabungan “nyaris” kita, semakin terbukalah Wajah-Nya yang Maha Indah. Hati kita mungkin dibuat-Nya remuk, tapi bukankah Allah swt mengatakan, “Carilah Aku di antara para hamba-Ku yang remuk hatinya”.


Kedigjayaan diri adalah musuh hati, dan keperihan adalah obat. Keutamaan dan kemuliaan seseorang tidak diukur dari penglihatan-penglihatan tentang alam yang tak terlihat, atau bisikan-bisikan skenario masa depan. Orang yang beruntung adalah orang yang bisa menjadikan keghaiban hari esok sebagai hidangan bagi hatinya.


Sahabatku, saudara-saudaraku seperjalanan, kita semua sama, dibuat kalang kabut dengan “pengaturan-pengaturan” suci dari-Nya, dan hati-hati kita ada diantara permainan dua Jemari-Nya.


Jangan ada lagi ketragisan di hati. Kita semua ada dalam genggaman-Nya.***


[*] “Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”Q. S. Al-Mu’miin [40] : 61

[-] Kedigjayaan - Kekebalan

sumber

Perahu


karya
S.M Zakir


HIDUPKU adalah kesengsaraan!

Ombak memutih berbuih di birai kakinya. Dia hanya bersuara kepada laut yang luas terdampar saujana tanpa hujung. Langit juga memutih dan terdampar saujana luas tanpa hujung.


Aku adalah kesengsaraan yang terlempar dari kolong langit!

Angin berdesir dan menempuh tubuhnya. Dia masih membiarkan birai kakinya dijilat ombak. Sambil menghadap laut dan angin menempuh-nempuh tubuhnya mengibar-ngibar pakaiannya.

Sekumpulan kanak-kanak yang bermain-main di tepi pantai tercegat sebentar. Berpandangan antara satu sama lain. Akhirnya perlahan-lahan mereka bergerak menghampiri lelaki yang tercegat sendirian seperti bertafakur menghadap laut itu.

Dia memerhati kumpulan kanak-kanak yang datang menghampirinya. Kemudian seakan mengepungnya dalam satu kelilingan.


"Kami mahu mendengar cerita."

"Cerita Nabi Nuh dan bahteranya."


"Cerita Nabi Yunus ditelan ikan Nun."


"Cerita Nabi Musa membelah laut dengan tongkatnya."



Dia berjalan ke banir ru diikuti kumpulan kanak-kanak yang bersorak-sorak girang. Dia mengambil tempat duduk dan kumpulan kanak-kanak itu berebut-rebut mengambil tempat mengelilinginya. Berhampiran banir ru di kawasan redup terpacak sebuah bangsal dan sebuah perahu yang masih belum siap ditukang.



Aku adalah manusia miskin dan daif yang dilontar dari sana, tangannya menuding laut.


Kanak-kanak itu melongo. Diam tidak berkutik. Menunggu ceritanya.


Kedaifan membuatkan aku tidak mempunyai apa-apa di dunia ini. Lebih dungu lagi aku tidak mempunyai apa-apa kepandaian dan kemahiran yang mungkin boleh memberikan aku kehormatan dunia harta, pangkat, darjat dan kuasa. Satu-satunya kemahiran dan kepandaian yang aku miliki adalah bertukang perahu.


Kanak-kanak itu menderaikan ketawa. Amat lucu bagi mereka kerja bertukang perahu seperti lucunya cerita Abu Nawas.


Sekarang aku ingin bercerita tentang cerita perahu. Aku si daif yang terlontar dari kemahakuasaan dan kemahaluasan laut dan tercampak di pinggir bumi yang maya dan fana ini hanya ingin bercerita tentang perahu.


Kanak-kanak itu melongo. Berpandangan dan menggeleng-geleng.


"Kami mahu mendengar cerita Nabi Nuh."

"Kami mahu mendengar cerita Nabi Yunus."


"Kami mahu mendengar cerita Nabi Musa."


"Kami mahu mendengar cerita Abu Nawas."


Tiba-tiba sahaja. Mata yang lain melotot.

"Engkau saja jadi Abu Nawas."



Tanpa mempedulikan bantahan kanak-kanak itu, dia bangkit menuju ke perahu yang belum usai ditukanginya itu. Kumpulan kanak-kanak itu bagai ditarik daya misteri terus saja bertolak-tolak mengikutinya.



Lihat laut di hadapan kamu.


Kanak-kanak itu berpaling menghadap laut dan berteriak-teriak.


"Ya laut yang menenggelamkan kaum Nabi Nuh."

"Ya laut yang ada ikan Nun yang besar."


"Ya laut yang terbelah dan bertangkup dengan pukulan tongkat Nabi Musa."


Dalam kepanasan cahaya matahari tengahari begini laut melepaskan zatnya dari air laut yang masin menjadi wap. Wap berkumpul membentuk awan. Awan semakin berat. Wap sekali lagi berubah zatnya menjadi air bersih dan turun sebagai hujan. Air hujan lalu turun membasahi bumi. Menghidupkan tumbuhan dan makhluk. Air hujan berubah lagi zatnya menjadi air tulen yang mengalir menjadi sungai. Air tulen ini menjadi sumber penghidupan tumbuhan dan makhluk. Sungai mengalir memakmurkan bumi. Setelah itu sungai mengalir kembali ke laut kembali ke asalnya kembali bercampur menjadi zatnya yang asal.


Kumpulan kanak-kanak itu mendengar menanti jika dalam air nanti akan muncul gergasi besar atau yu ganas atau sotong raksasa.


Setiap yang bermula akan kembali kepada asalnya. Yang asal itulah yang melimpah mengubah zat dari satu bentuk ke satu bentuk yang lain dan akhirnya kembali kepada bentuknya yang asal dan azali.


"Tidak ada ombak besar yang ganas menenggelami kaum Nabi Nuh?"

"Tidak ada ikan nun besar terdampar di pantai bersama perutnya yang berisi manusia?"


"Tidak ada tentera-tentera Firaun perkasa yang lemas bertempiaran ditelan laut?"


"Tidak ada baghal Abu.."

Terdiam di situ.

"Lagi-lagi engkau."


Mereka adalah pesuruh-pesuruh Tuhan yang diturunkan untuk membimbing manusia agar menginsafi kejadian dan kewujudannya. Nabi Nuh, Nabi Yunus, Nabi Musa, nabi-nabi dan rasul-rasul lain dan rasul yang paling agung Nabi Muhammad s.a.w, semuanya adalah pesuruh Tuhan. Tuhan? Tuhan itu adalah Maha Pencipta yang telah mencipta seluruh kejadian dan alam semesta melalui perlimpahan zat-Nya. Dan setiap kejadian itu berakhir dengan kembali kepada penciptanya iaitu Tuhan Allah azzawajalla.


"Tuhan lebih berkuasa dari laut yang menenggelamkan kaum Nabi Nuh?"

"Tuhan lebih berkuasa dari ikan Nun yang besar?"


"Tuhan lebih berkuasa dari Firaun?"



Tuhan lebih berkuasa dari segala-galanya.



Kanak-kanak itu terdiam. Diam dan diam sekali. Wajah mereka memainkan fikiran tentang sesuatu yang besar, hebat dan agung. Mereka lalu merasa gerun.


Tuhan menjadikan kita sebagaimana hukum yang terjadi kepada laut tadi.


"Tuhan ada di laut?"

"Tuhan ada di awan?"


"Tuhan ada di sungai?"



Laut itu luas. Ombaknya ganas. Sekali kamu berada di tengah laut, daratan akan hilang. Kamu tidak mempunyai apa-apa selain laut.


"Bagaimana kami hendak ke tengah laut?"


Dia memegang perahu. Menggosok-gosoknya. Berjalan dari hujung ke hujung. Kemudian berhenti di tengahnya.


Dengan perahu ini.


Berhampiran, kedengaran ombak dan angin berhempas saling mengejar untuk mengucupi pantai.


Di tengah ini aku letakkan papan dan kayu yang menjadi dasar kepada perahu ini. Ia dipanggil lunas perahu. Tanpa lunas perahu ini akan tenggelam karam di lautan segara.

Kanak-kanak itu memegang lunas perahu.


Di kiri kanan perahu ini aku letakkan papan yang menjadi dinding daripada rempuhan ombak dan juga dinding kepada lunas perahu tadi. Tanpa papan-papan ini gelombang akan merempuh masuk dan dengan mudah akan menenggelamkan perahu.

Kanak-kanak itu memegang papan perahu.


Di atas lunas dan papan ini yakni di dalam perahu adalah kita. Kita adalah isi yang akan mengemudi perahu belayar ke lautan segara. Isi yang mengemudi perahu harus tahu tujuannya. Tanpa isi yang baik dan tetap tujuannya, perahu akan hanyut sesat di lautan segara.

Kanak-kanak itu memegang diri mereka masing-masing.


Akhir sekali untuk belayar di lautan segara perahu memerlukan layar yang kuat dan tahan. Kita tidak betah untuk berdayung di lautan luas. Kekuatan manusia terlalu kerdil untuk mengatasi ombak dan angin. Apatah lagi laut yang maha perkasa. Layar ini bagai rahsia kerana ia berkibar bukan di atas kekuasan isi atau kita atau manusia tetapi di atas kekuasaan yang di atas segala kekuasaan.

Kanak-kanak itu memegang layar perahu.


Ombak dan angin berhempas saling mendahului mengucupi pantai.


Tahukah kamu bahawa perahu pertama di alam ini dibina oleh Nabi Nuh dan empat orang tukang kayu dengan tunjuk ajar daripada Jibril. Jibril telah diturunkan oleh Allah azzawajalla untuk membantu Nabi Nuh membina perahu. Jibril yang menyampaikan ilmu tentang lunas, tentang papan tentang isi dan tentang layar.


Ketika hari semakin merangkak. Kelihatan kanak-kanak di sebuah perkampungan di daerah Fansur ini berlari-lari pulang ke rumah sambil menjerit-jerit, "Perahu! Perahu! Perahu! Perahu dibina oleh Jibril!"





Hidupku adalah kesengsaraan!

Dia bersuara lagi kepada laut dan ombak, sambil menyorong perahunya ke laut. Malam mengerdip kemerlap gemintang. Bermain-main di tubir langit. Kini dia berada di laut, belayar dengan perahunya. Laut yang luas dan tidak bertepi. Menurut seorang ahli sufi, laut yang luas tidak bertepi ini merupakan kenyataan dalam peringkat pertama yang berupa ilmu, kewujudan, kesaksian, dan Nur. Kerana (ada) ilmu maka Allah itu Maha Mengetahui. Kerana wujud maka Allah itu Maha Esa dan Maha Pencipta. Kerana kesaksian Allah itu Maha Melihat. Kerana Nur Allah itu Maha Kuasa yang menerangi seluruh semesta dan kejadian. Perahunya perlahan-lahan belayar menelusuri laut dalam kebeningan malam yang dikabusi kabut.


Kesengsaraan adalah kesaksian cinta!

Ombak berdenyut dengan pada setiap denyutannya mengilas cahaya perak yang berlari dalam riak yang beralun-alun. Menurut ahli sufi itu lagi, apabila laut memunculkan diri (sebagai yang dikenal, ada, kesaksian dan cahaya), maka ia dipanggil ombak. Ia merupakan kenyataan dalam peringkat kedua, iaitu kenyataan menjadi "yang dikenal" dan "yang diketahui". Pengetahuan dan ilmu Tuhan menyatakan diri dan bentuk "yang dikenal"
dan "yang diketahui".


Perahunya teroleng dialun ombak. Semakin lama semakin jauh meninggalkan daratan dan semakin jauh ke tengah. Ombak laut bagai mengulit dan menguja-uja kalbunya hanyut dalam satu perasaan yang begitu mulus dan bening.


Cinta adalah kedalaman laut yang penuh rahsia!

Ayunan ombak yang mengoleng-oleng semakin menenggelamkan dirinya dalam rasa yang tidak bertepi. Ombak kini wujud sebagai suatu daya yang menarik dan menolak, menghidup dan memati, menggerak dan membeku. Ahli sufi itu menyatakan bahawa roh yang menggerak dan menjadi daya tenaga itu adalah kenyataan dalam peringkat ketiga, iaitu kenyataan yang berupa roh wujud dan maujud. Perahunya berdesar lalu membelah laut. Layarnya berkembang penuh bagai bulan perbani di langit yang terang. Malam temaram berpuput yahum yang menerpa menikam dingin yang dalam. Sumsumnya pedih ditikam dingin, namun kalbunya terbakar menyalakan cinta.


*"Sirr Sirrihi!" Jadi maka jadilah!

Bukan dia yang menyatakan itu. Buih-buih memutih di muka ombak, berlari-lari mengejar kabut; sedang di bawah ombak ikan dan segala hidupan laut berlegar dan bergerak bersama nyawa dan roh yang sempurna yang ditiupkan. Ahli sufi itu menyatakan bahawa penciptaan jasmani alam semesta, makhluk-makhluk, termasuk manusia ini merupakan kenyataan dalam peringkat keempat.


Perahu telah begitu jauh ke tengah laut. Laut tanpa daratan lagi. Daratan telah hilang sehingga dia pun terlupa bagaimanakah rupa daratan itu. Ampuni aku ya Tuhan. Dia menyeru dan melutut. Dia semakin takut dan gentar. Namun dalam masa yang sama, kalbunya semakin terbakar oleh api dingin yang sejuk bagai ais. Perlahan-lahan dia jatuh. Terkulai dan akhirnya hanyut menjadi kecil dan kecil. Larut menjadi tiada dan kosong.



Laut! Aku telah bebas dari daratan!

Aku perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, maka Aku mencipta dan dengan demikian Aku dikenal. Tanggal dirinya - terlepas daripada keterpautan dunia. Tunggal dirinya - tidak bercampur atau berpisah.

Dia menjadi setitis air yang larut di dalam kemasinan laut yang tidak bertepi.



Pagi di pantai. Sekumpulan kanak-kanak berlari berkejar-kejaran di gigi pantai sambil menyanyi-nyanyi melagukan syair:

**Hamzah gharib unggas quddusi
Akan rumahnya Bait al-Ma'muri
Kursinya sekalian kapuri
Min al-asyjari di negeri Fansuri

________________________________________________________________

*Rahsia yang paling tersembunyi/rahsia Tuhan yang Maha Dalam.
** Bahagian daripada syair Syarab al-Asyiqin karya Hamzah Fansuri.


~~~



Mingguan Malaysia, 26 Disember 1999

Pemenang Hadiah Utama, Kategori Cerpen
Hadiah Sastera Kump. Utusan-Public Bank 1999

Nenek Negro Di Kota Mekah


fragmen cerpen
Faisal Tehrani





Merpati-merpati indah sedang tekun beribadah. Engkau terhidu bau atar mengapung harum menusuk deria hidu dan melihat langit lagi, awan nipis dan angin sesekali sepoi sahaja tiupannya melanggar pakaian pada tubuh, menampar pipi. Engkau bilang tasbih di tangan.


Azan Isya' pun berkumandang. Engkau bersembahyang. Lunak suara imam membacakan surah Yaasin, penawar hati di dalam al-Quran.


Kemudian, sesudah solat jenazah usai, engkau meluru ke arah Multazam, sedar engkau tidak ditegah menghampirinya, lantas engkau berdoa lagi. 50 tahun engkau mahu mempunyai anak.


Suami engkau pernah berkata, “Tak apa Hajar. Abang sudah redha dengan ketentuan Allah. Kita bahagia bersama dan tentu sahaja ada hikmah besar yang tidak pernah kita maklumi.”

Tetapi kali ini engkau meminta-meminta-meminta.


Engkau pulang bersama suami, bersama berpimpinan tangan menghala ke Asia Palace, di hadapan kedai runcit berhampiran hotel engkau singgah sebentar untuk membeli air mineral botol besar.



Tiba-tiba engkau disergah nenek negro itu. Ia bertudung serba hitam dan kepam. Pipinya berkedut dan tangannya; sepuluh jari berbalut warna jingga inai yang kian pudar. Matanya kuyu. Bibir nenek negro itu bahagian bawah lebih tebal dari bahagian atas sedikit terjuih dan engkau sedar di kedua-dua lengan terpasang gelang perak yang sarat. Dia berdiri di hadapan muka pintu kedai runcit tidak bersuara dan hanya pergi setelah diberi air mineral sebotol oleh pekedai yang tidak banyak bicara dan semacam mengerti ragam nenek tersebut.



“Ketepi Hajar, nenek gila nak lalu.”
Kata suamimu, menghela tangan untuk memberi laluan kepada nenek berkulit legam itu. Dia menoleh ke arah engkau, merenung tepat seolah-olah memahami kata-kata suami engkau dan marah menyala pada matanya terpanah membakar rasa dalam jiwa engkau. Telan air liur engkau telan dan engkau perlahan-lahan cuba tersenyum. Nenek negro masih tajam merenung tanpa reaksi dan kemudian perlahan-lahan dia juga tersenyum.


“Jangan abang cakap begitu lagi lain kali. Marah dia.”


“Argh bukannya dia faham.”


“Tak faham pun tak baik kata begitu, orang gila di kota Mekah jangan-jangan wali Allah.”



Engkau naik ke tingkat atas, makan minum dan sudah lima hari, setiap kali makan tengahari serta makan malam engkau menghimpun pelbagai jenis buah-buahan yang dibekal oleh pakej umrah. Ada pisang, limau, oren dan anggur. Engkau bawa semua naik ke atas dan isi di dalam kampit yang asalnya kecil kini mengembung menjadi besar.



Engkau tidur dengan perut kekenyangan. Sebelum mata terlena, engkau terbayangkan nenek negro lagi. Kemudian engkau lelap terus. Di dalam tidur nenek negro muncul tersenyum kepada engkau dan bersuara. Mula-mula butir katanya tidak jelas tetapi kemudian bicara itu menjadi terang. Nenek negro ternyata fasih berbahasa Melayu dan Arab.



“Siti Hajar, akan aku bacakan ayat kedua surah al-Insan bahawa: Sesungguhnya Kami mencipta manusia daripada nutfah yang bercampur.”


..

~~~


*Ketahui sepenuhnya kisah Siti Hajar, suaminya dan nenek itu. Dapatkan Kekasih Sam Po Bo.

November 06, 2008

Narawastu Amman


fragmen cerpen Faisal Tehrani




Masjid Ahlul Kahf tidak jauh dari gua Ashabul Kahfi di Urdun, Jordan.


..Tujuh pemuda ingkar. Kala diminta menyerahkan korban untuk sembelihan berhala, salah seorang darinya menjawab.


“Hanya kepada Allah kita berkorban. Selain dari Allah maka ia adalah kafir.”


Ketika maharaja keluar kota untuk berburu. Diomedes yang memiliki mata paling biru di kalangan mereka pun menghimpunkan rakan-rakannya untuk satu mesyuarat penting.



“Sebelum raja gila itu menggugat akidah kita, marilah kita tinggalkan segala harta benda dan berangkat ke gua dibukit Anchilus. Sesungguhnya berlindung dari kekufuran adalah sesuatu terpuji. Kita harus memilih antara menyelamatkan akidah atau menawar jual beli dengan kejahatan dan kemaksiatan.”



Setelah itu mereka mewakilkan Imblicus untuk keluar ke kota dan menyamar sebagai pengemis buta, siap dengan pakaian compang camping langsung membeli makanan. Waktu itu tersebar sudah, berita maharaja telah pulang dari berburu binatang dan kini sedang memburu tujuh pemuda yang tidak mahu mematuhi kata-katanya.



Maharaja bertitah,
“Pemuda-pemuda menentang aku adalah pemuda maksiat terhadap berhala. Pemuda yang baik dan setia adalah pemuda yang berterima kasih kepada berhala dan pemerintah.”


Imblicus pun pulang mengkhabarkan berita nestapa. Makanlah ketujuh-tujuh sahabat dalam dukacita dan kebimbangan. Terdetiklah di hati mereka, bagaimanakah akan diselamatkan akidah suci ini dari dicemari sedang mereka sudah pun mengundur berlindung dalam gua iman yang kecil dan redup ini..







~~~


*Cerpen
ini tersiar di Akhbar Jawi Utusan Zaman pada 26 Disember 2004,
serta
diterbitkan semula di dalam Kekasih Sam Po Bo.

*** Rujuk di sini, dan di sini untuk maklumat lanjut
tentang sejarah Ashabul Kahfi.

***Gambar-gambar di atas diambil dari sini.

November 05, 2008

Rahmat-Nya mendahului murka-Nya





Sabda Al-Musthafa,
Muhammad Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam:


"Andaikan kamu berbuat dosa sehingga dosamu mencapai langit, kemudian kamu bertaubat (dengan sebenar-benar taubat), nescaya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengurniakan keampunan kepadamu."

[Riwayat Ibn Majah]


"Semua anak Adam (manusia) itu sering membuat kesalahan (dosa), dan sebaik-baik manusia yang membuat kesalahan (dosa) itu ialah orang-orang yang selalu bertaubat."

[Riwayat Al-Tirmizi]



"Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala. telah selesai mencipta semua makhluk, maka tertera tulisan di atas Arsy, berbunyi:

Rahmat-Ku mendahului murka-Ku (Rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku)."

[Riwayat Bukhari, Muslim & Ibn Majah]


November 04, 2008

Ratu Kosmetik


fragmen cerpen Faisal Tehrani





..

6.
Che Gayah cucunda kita, sungguh cucunda ini tak lelah mengecek ilmu. Baiklah biar nenda jelaskan lagi inti sari yang mana perlu. Tumbuhan yang lain untuk keperluan kecantikan, dapat digunakan minyak zaitun dan air mawar. Tumbuhan ini rasanya sejuk dan sangat berkesan dalam melembutkan kulit. Tumbuhan lain yang mesti cucunda perhatikan tak lain tak bukan daun lidah buaya untuk memperhalus kulit serta pangkal batang pokok pisang untuk melembutkan kulit telapak kaki yang kasar diganding ketimun untuk merawat wajah. Campuran pati kentang kalau digaul dengan pati mengkuang dan air mawar dapat melembutkan dan memutihkan kulit. Sedang bayam boleh diusahakan menjadi serbuk ubat jerawat. Khasiatnya untuk menguncupkan jerawat dan menghilangkan rasa gatal di muka.


Cucunda memang bangsa Melayu hebat menampung ilmu pelbagai, sayang orang tak berapa mahu menjadi Melayu. Yang mereka gilakan yang Barat-barat itulah. Adapun tokoh kosmetik ada wujud dalam dunia Islam satu masa dahulu. Nama ilmuan ini
al-Zahrawi, dalam bahasa Latinnya Albucassis. Hidup di Cordoba, Andalusia antara tahun 936 hingga 1013 masehi. Terdapat sebuah kitabnya bernama at-Tasreef 30 juzuk semua. Juzuk 19 itu yang wajar cucunda gali. Memang khusus tentang ilmu-ilmu menjaga kecantikan ini. Ada dibincangkan cara membuat deodoran, mencabut bulu roma, membuat losyen tangan, sampaikan kaedah mewarna rambut dengan inai pun ada. Dalam juzuk itu bab adwiyat al-zinah malah menerangkan cara membuat lipstik, dan sabun serbuk untuk mencuci pakaian.


Cucunda Che Gayah, lihatlah peradaban 800 tahun Andalusia. Saat itu Eropah dalam kegelapan, kusam dan busuk, serta ahli masyarakatnya ramai yang bahlol bercampur tolol. Umat Islam sudah punya 600 buah masjid, 300 tempat mandi awam, 50 buah hospital, 70 buah perpustakaan dan jalanan digantung lampu untuk menerangkan laluan. Sampaikan ada penulis orientalis
Stanley Lane Poole menulis dalam bukunya The Moors in Spain pada tahun 1887 bahawa sesudah kejatuhan peradaban Islam, Eropah mendapat cahaya dari pelita yang dipinjam. Sampai sekarang al-Zahrawi diabadikan di Cordoba. Cucunda Che Gayah andai sudah banyak menjual produk kosmetik melalui jualan langsung nanti pergilah melancong ke sana dan ziarahlah rumah nombor 6 di Calle Albucassis, tertera di hadapannya dengan plat gangsa: Di sini diamnya Abul Qasim. Itu sahajalah omelan nenda dahulu.


7.
Nenda Puteri Gunung Ledang,

Ada lagi disorok apa-apa? Janganlah diperam-peram..


~~~


*Pernah tersiar di dalam majalah URTV 15-31 Ogos 2005,
selebihnya cerpen ini termuat di dalam
Kekasih Sam Po Bo.


November 02, 2008

Cahaya Pada Jiwa


fragmen cerpen Faisal Tehrani


..Alif meronta-ronta dalam jiwa. Dia memberitahu saya, wajah anak-anaknya kadang-kala terlalu kuat mengelus nurani. Akan tetapi dia juga memikirkan, kalau diambil wang itu, belum tentu anak-anaknya akan sihat diubati dan dirawati. Apa berkatnya wang begitu. Datang dan pergi tanpa restu langit. Bukan itu jalan penyudahnya, tengkar diri. Wang tersebut, yang terkandung dalam beg kerja adalah jawapan, desak bahagian otak yang lain.


Alif bertarung. Pertarungan yang terlalu payah. Dia mesti menang, untuk menerima cahaya atau menerima wang lantas menerima dosa dan menerima bahana. Merobohkan maruah baik dan mendobrakkan peribadi mulia yang sekian lama dia bina?



Wang… wang… wang…


Saya ikhlas Encik Alif,
bibir Encik Ta menyebut-nyebut itu terbayang-bayang.

Dia buntu.
Wang… wang… wang.


Kereta membelok perlahan mengarah ke Jalan Jim. Waktu rusuh petang jam lima setengah, semua kenderaan menyerbu jalanraya untuk pulang ke rumah. Dia sendiri porak peranda dalam sukma. Alif berada dalam tekanan memuncak. Terlalu puncak bagaikan akan meledak segala isi dan berhamburan. Kala itulah kata Alif, dia membulatkan hati, dengan rasa begitu pilu dan geram bercampur-baur. Waktu itu ada dua perkara mendorong dirinya menghentikan kereta di tebing, berlari ke arah taman yang tersadai permai tidak jauh dari pinggiran jalan. Dua tiga gadis Cina yang bersiar-siar di taman tercengang-cengang melihat tampangnya berlari-lari tergesa seolah-olah ada sesuatu yang dikejari.



Pengakuan Alif, pertama dia terkenangkan wajah isterinya. Tsa adalah cahaya selama ini di dalam diri. Cahaya hiasan. Kerana perempuan itu, kelembutannya begitu memukau dan dia berasa selamat didorong oleh seorang isteri yang baik. Dia tidak mahu mengotor wajah-wajah ahli keluarganya dengan debu dan kotoran bila dibangkitkan di hari akhirat kelak. Alif sudah tersedu.


Kedua, kata Alif lembut dan lunak dengan air mata tertahan, ialah waktu itu dia terdengarkan ayat-ayat Surah al-Syams mengalun lembut dari kaset bacaan ayat suci al-Quran yang terpasang pada pemain kaset dalam keretanya. Suara qari menyentuh hati. Dia menterjemah sendiri secara penuh hati-hati dan mencengkam jiwa ayat-ayat sembilan dan sepuluh itu.


Sesungguhnya telah menanglah orang yang membersihkan jiwanya. Dan rugilah orang yang mengotorkannya.

Alif tiba-tiba bagai dibisikkan frasa
zakkaaha, ayat al-Quran yang mendorong pertumbuhan dan peningkatan jiwa bercahaya sedang kalimat dassaha itu menunjukkan kekotoran hati yang haram dan menjelekkan. Ustaz Ba dirasakan memapah hala tujunya. Ucapan-ucapan dalam kuliah tafsir datang membelai cuping telinga. Wajah Tsa dan alunan ayat-ayat sembilan dan sepuluh terngiang mendengung dalam telinga memasuki terowong hatinya, padu diserap rongga-rongga.


Kerana dua sebab itulah dia menghentikan kereta dan menuju ke arah kawasan taman, dia terus mengambil segenggam tanah dan memasukkan ke dalam mulutnya dan mengunyah-mengunyah dan mengunyah lalu meluah. Tanah kotor hitam itu penuh dalam mulut, memberi selekeh pada bibir dan terpalit pada misai serta baunya yang busuk memualkan. Ia sama sekali tidak enak, ia menyucuk-nyucuk tekak dan perut untuk muntah. Di situ dia terduduk menangis dan menangis meminta Allah memberikan dirinya perkasa dalam pertarungan yang besar tetapi tidak ternampakkan oleh manusia lain itu.



Dia lebih rela makan tanah, dan Alif buat seketika berasa terlalu insaf. Dia juga setelah itu berasa menang. Gadis-gadis Cina tadi hanya melihat dari jauh separuh gamam separuh kebimbangan.



Begitulah dengan keadaan kotor dan comot, dia melangkah masuk ke dalam wad di Hospital Tawakal mendapatkan isterinya yang kehairanan dan ibu mertuanya yang tercegat keanehan.

..

~~~


Cerpen ini memenangi Hadiah Sastera Berunsur Islam 2001 anjuran
Yayasan Pelajaran Islam-DBP.


*Selanjutnya, termuat di dalam Kekasih Sam Po Bo.