Galakkan debu ’tempuran seni Bahasa;
Tempikkan suaramu dilapangan Puisi—
Dan petik lagammu dari taman Fantasi
____________________________________________________________________
I
Ada hakikat difahami dengan samadi,
Ada Hakikat pada akal tak ’kan mengabdi;
Samudera suram dan luas tak tampak dasarnya—
Tapi mudah mata menembus air dikendi.
II
Perkataan dan perbuatan jalanan zahir,
Jalanan batin melintasi langit mendesir;
Jasad menempuh jalanannya yang penuh debu—
Ruh berjalan, seperti ‘ Isa, diatas air.
III
Hai Ruh!—dari dangkal debu ’pabila merdeka,
S’umpama sukma bebas kau lelangit menghala;
Singgasanamu diangkasa bersama Dewa,
Tak malu kau—lama dalam lempung terpenjara!
IV
Sungguh ajaib!—wajah chantik tiada bandingnya,
Didalam kalbu chermin ini merajalela;
Anehnya bukan wajah itu—anehnya ialah
Kerna chermin ini pun sekaligus wajahnya.
V
Semua chermin dalam alam ini kusangka,
Membayangkan kechantikanmu laksana surya,
Tidak! dalamnya semua meliput sinarmu—
Kulihat kau sendiri, bukan bayangmu, nyata.
VI
Apa untungnya pipi merah laksana bunga—
Rupa jelita, rambut memahkotakan muka?
’Pabila kechantikan murni meliput alam,
Guna apa kau memeluk kechantikan fana?
VII
Minumlah banyak-banyak anggur asmara dunia,
’Gar dapat bibirmu nan lebih suchi merasa;
Tapi ingat! janganlah dunia ’mabukkan ruhmu—
Lintasi jambatan ini, dengan chepat, mara.
VIII
Churahkan pada bibirku anggur purbakala—
Berilah! agar dapat alam baru kuchipta,
Lupakanlah bagiku dunia yang mengabaikan,
Agar dapat kunyanyikan pujian ’tuk kau saja.
IX
Si prajurit menchari shahid di Jihad, runtuh,
Si ashik dilapangan Ishik tewas terbunuh;
Tetapi derajat shahidnya terlebih tinggi :
Dia ditikam kawan, bukan dileburkan musuh.
X
Dalam segala nyanyianku kaulah kupuja,
Dalam segala chiptaanku kaulah terchipta,
Tetapi m’reka hanya tersenyum mendengarnya, dan,
Melihat sekali, lalu menggeleng kepala.
XI
Walau pun ‘Izrail mengakhiri pujianku,
Tetap bergelora api cinta dalam kalbu;
Choba bongkar nanti tempat debuku terkubur-
Pasti kapan berasap, terbakar api rindu!
XII
Ah! berderita hatiku ’ndak berkata-kata,
Chintaku tak berbatas, hasrat menyala-nyala,
Tapi bisu mulut yang telah merasa chinta—
Sia-sia hati berkobar ’ndak menchari suara!
XIII
S’gala rupa dalam keadaan menjelma,
Hanya ada sesaat, lalu lenyap binasa;
Demikianlah artinya kalimat mendalam:
Bentuknya berubah-ubah pada tiap masa.
XIV
Masa bukanlah seumpama air mengalir,
Tapi s’umpama titik khayal ’nantiasa mungkir;
Yang Lampau, yang Hadir, dan yang Kemudian kelak
Semuanya didalam sesaat abadi Hadir.
XV
Dari setitik seribu lingkaran menjelma,
Dari angka satu berasal semua angka,
Inilah asasnya keadaan Makhluk jelata :
Dari alam yang ghaib timbul alam yang nyata.
XVI
Aku telah ada pada masa s’gala Nama
Dan keadaanku yang berNama belum terchipta,
OlehKu Nama dan yang berNama dinyatakan
Pada masa sebelum Aku dan Kita.
XVII
Tanyaku : 'Siapakah empunya kechantikanmu?'
Jawabnya : 'Segala nan wujud kepunyaanku!
Ashik, Ma ’shuk, dan Ishik ialah kesatuanku;
Juita, chermin, dan mata yang melihat pun aku.'
XVIII
Terlontar dilautan yang jauh pantainya, sesat,
Rakit Insan diumbang-ambingkan taufan Kodrat,
Tapi Kadar merampas kemudi, dan menetap,
Mengikuti peta yang kalam telah menchatat.
XIX
Terimalah, hai Tuhanku, hambaMu derhaka,
Ruhku suram—biarlah chahyaMu jadi pelita,
Kalau shurga hanya upah ’tuk amal baikku—
Kemana kemurahanMu—dan rahmatMu mana?
XX
WujudNya ghaib dalam nadi Makhluk jelata,
S’umpama raksa mengalir menyangkal upaya,
Membina s’gala bentuk dari 'alif' hingga 'nya'—
Tapi semua ’ubah binasa, melainkan Dia.
XXI
Waktu remaja, selalu kusinggah mendengar
Alim Ulama sebok berdebat dan bertengkar,
Tentang Ini dan Itu—tapi selalu saja—
Dari pintu kumasuk juga aku keluar.
XXII
Kepada langit berlipat-ganda kuberseru,
Menanya : '’Ngan pelita apa Kodrat memandu
Anak-anaknya yang sesat dalam kegelapan?'
Maka Langit menjawab : '’Ngan fahaman yang buntu!'
XXIII
Kenapa tiada taufan mengamuk dilautanmu?
Jiwamu terbelenggu—kemanakah imanmu?
Sia-sia kau melaung menuduh tindasan Takdir—
Kenapa tidak kau menjadi Kodrat Tuhanmu?
XXIV
Hai Pengembara!—marilah berlena di Lembah
Aman abadi, dimana s’gala serba indah
Hingga melati yang kau petik dan chium, akan
Berbisik padamu : 'Aku ini chermin Allah!'
XXV
Iram memang telah lenyap ’ngan s’gala mawarnya,
Piala Jamshid bergelang tujuh entah kemana;
Tapi anggur masih ’ngalirkan mirahnya purba,
Ditepi air masih semerbak taman bunga.
XXVI
Kalau hatimu tak tertipu oleh yang khayal,
Jangan kau takabur kerna kecherdasan akal;
Matamu terbebas dari kekhilafan itu
Oleh kerna haus ditekakmu tidak kekal.