Mac 19, 2009

Menjadi Danau



Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya kebelakangan ini selalu tampak murung.


“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.


“Guru, kebelakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.


Sang Guru ketawa kecil. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah ke mari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”


Si murid pun beranjak perlahan tanpa semangat.

Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa
gelas dan garam sebagaimana yang diminta.


“Cuba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,”
kata Sang Guru. “Setelah itu cuba kau minum airnya sedikit.”

Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air masin.


“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.


“Masin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.


Sang Guru tertawa perlahan melihat wajah muridnya yang meringis kemasinan.


“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”


Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa masin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa masin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu fikirnya.


“Sekarang, cuba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.


Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”


“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa masin yang tersisa di mulutnya.


“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”


“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.


“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, begitu-begitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”


Si murid terdiam, mendengarkan.


“Tapi Nak, rasa ‘masin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya qalbu yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”


: : : : : : :


“Berkata (Musa), “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,” (25)
“Dan mudahkanlah untukku urusanku.” (26).
[Q.S. 20 : 25 - 26]

“Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” [Q.S. 2 : 286]




C a t a t a n :
Artikel di atas merupakan sebuah adaptasi
dengan versi terjemahan bebas Herry Mardian, dari
sebuah cerita berbahasa Inggeris yang diperolehnya di internet. Ini linknya.

Karya asal : 'Berhentilah Jadi Gelas', oleh Herry Mardian


3 ulasan:

Tanpa Nama berkata...

Assalamualaikum wr wb.

SAlam ukhuwah.

mohon ijin untuk menyampaikan amanat yang diberikan Habib muhammad kepada saya. Lebih detailnya ada disini :
Undangan Majelis Al-Anwar

Tanpa Nama berkata...

La yukallifuLlahu nafsan illa wus'aha.

=]

firusfansuri berkata...

Wa'alaikumussalam wr wb.
Syukron atas undangannya, ya akh.

Shadaqti.. Ya Habibati.

=]