Sebuah cuplikan buku renungan Herry Mardian, tertanggal 31 Januari 2004.
…….”BERSULUK itu bangkit dari keterpurukan,” katanya padaku dengan lembut, bertahun-tahun yang lalu. Dan baru sekarang dapat kuraba sedikit makna dari kata-kata itu. Bangkit dari keterpurukan, adalah dari keterpurukan jiwa dan keterpurukan jasad. Keterpurukan ukhrawi, dan keterpurukan duniawi.
Bersuluk adalah melawan diri sendiri. Bersuluk adalah berjuang. Mujahadah, mujahadah, mujahadah. Bukan untuk mengejar kemenangan. Sebab menang atau kalah, adalah anugerah Tuhan. Berjuang menghadapi persoalan… berjuang menghadapi syahwat dan hawa nafsu yang tak mau ditundukkan… berjuang menghadapi tarikan dunia dan tipuan syetan.
Terus berjuang, jatuh bangun. Marah, menangis, ataupun murung. Bangkitlah, berdoa, berserah diri, dan hadapi… sampai Allah menurunkan anugerah-Nya.
Jangan pikirkan menang atau kalah, berhasil atau gagal. Kita tidak tahu apa yang ada di depan, Allah menyimpannya. Sebagai hadiah.
Ketika Musa diperintahkan berjalan terkepung ke laut merah, apakah ia tahu lautan akan terbelah? Ketika Ibrahim diperintah menyembelih buah hatinya, apakah ia diberi tahu tentang seekor domba yang akan menggantikannya? Ketika Muhammad dan sekumpulan peternak, pedagang dan pengembara diperintahkan menghadapi seribu angkatan bersenjata quraisy yang terlatih, berkuda dan bersenjata lengkap, apakah ia diberi tahu tentang kemenangan?
Tidak! Sadarkah kau, sang jasad, bahwa sesungguhnya mereka bertempur melawan ketakutan mereka sendiri. Melawan ketidakyakinan mereka sendiri, pesimisme mereka sendiri. Rasa ketakbergantungan pada Allah lah yang mereka perangi. Sampai muncul jeritan yang paling dalam dari jiwa mereka, sebuah rasa yang murni, kesadaran bahwa mereka tidak bisa apapun, tidak mampu apapun, tidak memiliki kepastian apapun, selain sebuah kefakiran dan sebuah harapan akan pertolongan Tuhannya. Inilah buahnya: “rasa fakir yang teramat sangat jika sedang tidak bersama Tuhannya.”
Q. S. [2] :155, diuji dengan sedikit ketakutan, kelaparan….
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.”
Kekurangan harta, secara hakikat, juga berarti kehilangan keyakinan akan kemampuan diri, kehilangan atribut palsu yang biasa kita jadikan landasan rasa percaya diri palsu, kehilangan thaghut yang kita jadikan gantungan. Kehilangan status, kehilangan pangkat dan kekayaan semu.
Kekurangan jiwa, kehilangan kekasih, sahabat, teman dan keluarga. Kehilangan bahan bakar, ’semangat’ palsu yang biasa kita jadikan andalan dan sandaran: karena Dia-lah satu-satunya yang berhak dijadikan tempat bergantung dan berharap. Semua ini akan diganti-Nya dengan —yang lebih baik—: yang menjadikan kita lebih mendekat kepada-Nya.
Kekurangan buah-buahan, kehilangan petunjuk, pengelihatan dan pemandangan spiritual. Kau, berhentilah berlaku seperti anak kecil, hanya bermain-main dan terpesona dengan keajaiban. Perjalanan ini bukan tamasya.
Ini sebuah hijrah. Maka teruslah melangkah. Jangan berhenti.
Dengan ini semua kita dipilah-Nya, mana yang benar-benar mencari-Nya dan mana yang tidak. 3:154, 18:7, 33:11, 11:7, 67:2. Siapa yang benar-benar membutuhkan-Nya, atau hanya butuh ketika susah saja…
“Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam dadamu. Q. S. [3] : 154″
“[-] Dan ketika tidak tetap lagi pengelihatan dan hatimu naik menyesak hingga ke tenggorokan, dan kamu berprasangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka.
[-] Di situlah Al-Mu’minuun diuji dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.
[-] … dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allah dan Rasulnya tidak menjanjikan pada kami melainkan tipu daya.” (Q. S. 33 : 10 - 12)
“… Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q. S. 11 : 7)
Tapi di belakang semuanya, ingatlah:
“Tetapi, Allah-lah pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik penolong.” (3:150)
Bersuluk, adalah melawan diri sendiri. Sebuah jihad akbar yang bahkan lebih berat dari perang Badar*. Sebuah jalan, yang jika kita gugur ketika menempuhnya, kematiannya bahkan lebih mulia daripada mati di medan perang.
Lebih berat dari perang Badar: logically means kita —pasti— kalah. Ini adalah one way trip, perjalan sekali jalan. Only one-way ticket. Sebuah ekpedisi di mana seharusnya tidak ada lagi yang memikirkan perjalanan pulang. Sebuah perjalanan menuju kematian. There is no going back.
Kalau dengan logika, kita pasti kalah. Pasti. Kecuali jika Allah menolong. Berharaplah supaya Dia menolong… berperilakulah supaya Dia mau menolong. Semoga benar bahwa Dia tidak berfikir dengan logika kita…
Tuhanku, pemahaman ini…. tak akan pernah cukup syukur hamba pada-Mu. Tak akan pernah.
(Herry Mardian, 31 Januari 2004)
——-
*) Sabda Rasulullah ketika pulang dari perang Badar yang dahsyat kesulitannya: ‘Kita baru pulang dari sebuah perang kecil, dan masuk ke sebuah perang akbar: Perang melawan hawa nafsu dan syahwat.’
All works above are licensed under
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 License
'SULUK .:. HANYA SEKEPING CERMIN ™' © 2006 by Herry Mardian
Tiada ulasan:
Catat Ulasan